Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Tentang Jarak

Semenjak berjarak, mungkin kita muak dengan kata-kata. Dua entitas yang merindu tak akan pernah bisa tenang dengan aksara. Kita selalu menyebut hubungan namun apa arti hubungan jika tak saling bersentuhan. Bagaimana perasaan akan menguat kalau perantara rasa hanya kata? Sedari dulu kita selalu mudah ketika saling melemparkan pertanyaan, namun paling tak pandai menyusun jawaban, apalagi ketika disuruh sama-sama memastikan. Kita juga sudah masuk kedalam fase dimana kutipan kata-kata bijak terdengar sangat menjijikan. Kita selalu berbenturan dengan realita yang tak pernah dijabarkan dalam kalimat-kalimat cinta. Dunia selalu saja berubah jadi neraka tak seperti yang digambarkan oleh penjaja surga di tempat ibadah. Kita pun sudah sangat Lelah menjelaskan prinsip, pandangan, jalan dan tujuan dari hidup kita pada orang-orang yang kenyataanya saling berlomba, bukan saling memperdulikan. Lalu kenapa kita masih memilih Bersama ketika dalam koneksi itu kita palsu? kita tertawa dalam tek

Phenomenon.

Fenomena yang semakin kesini marak terjadi adalah jatuh cinta butuh validasi sosial, butuh di klarifikasi secara masif dan kontinyu. Seakan-akan hubungan perlu dipublikasikan dan diberitakan bahwa aku dan dia selalu baik-baik saja dengan mengunggahnya di platform media mainstream. Jatuh cinta berubah jadi alat validasi bahwa ketika ada hubungan atas dasar cinta maka aku eksis dan diakui. Aku dicintai, maka aku ada didunia seutuhnya. Terbentuklah standar sosial yang baru, manusia muda mulai merengek-rengek mengemis cinta, memohon validasi. Akibatnya? Cinta menjadi depresan murni bagi jiwa-jiwa yang labil. Sendirian di cap inkompeten dalam menarik perhatian lawan jenis, tak di sukai dan tak layak mendapatkan kasih sayang. Belum lagi pergaulan diisi oleh orang-orang tak berperasaan yang hobinya menjustifikasi pendirian yang sedikit berbeda dari manusia seumuran lainnya. Dalam berhubungan pun kini telah beresonansi dengan perubahan zaman. Aku meyakini bahwa hubungan yang sehat la

Kilas balik.

Bertahun-tahun merantau, menggantungkan diri pada tetangga kamar akan segala sesuatu, menemukan rekan juang yang saling berkomitmen agar sama-sama menjaga, menjadi sebuah ikatan keluarga, berjibaku dengan kerasnya kehidupan sarjana bersama, tersesat dalam kepulan asap tembakau dan gelas-gelas berisi alkohol, tertawa lepas, bebas. Lalu hal paling pahit yang harus diterima bersama adalah perpisahan, ia menyakitkan namun mendewasakan. Perpisahan adalah suatu sebab akibat yang absolut, tak terhindarkan. Biarlah momen-momen menjadi kenangan. Hari esok harus diterjang dengan keberanian, dengan ambisi menaklukkan, bahwa kehidupan adalah suatu yang kita ciptakan dengan kehendak, kerelaan, kebebasan dan kebahagiaan. Kehidupan bukan tempat untuk orang-orang lemah yang meminta pemakluman dan terus-menerus mendambakan keadilan. Kehidupan nyata yang akan kita tempuh lebih kejam dan kasar dari segala kesulitan yang terjadi di dalam kamarmu. Dari awal, hidup tidak akan adil, beberapa terlahi

Antusiasme atau Cinta?

Bagiku kekaguman adalah bentuk antusiasme paling tinggi. Kekaguman bahkan melampaui batas batas hak dan tanggung jawab. Kekaguman adalah bentuk yang lebih mudah di definisikan dari jatuh cinta yang terlalu subyektif dan abstrak. Kekaguman mudah diselaraskan pahamnya, bentuknya lebih fleksibel dan tak mengikat. Begini, kekaguman adalah rasa ketertarikan secara subyektif, kekaguman adalah penyakit gila yang ringan. Cara-cara kagum pun lebih variatif karena kekaguman hanya sebuah ungkapan rasa. Kekaguman tak egois, tak melulu ingin memiliki dan ingin dibalas. Fase kagum malahan lebih mendebarkan dan menggemaskan, ketika kau memandangnya dari kejauhan, meresapi indahnya dalam kegelapan, mendoakannya setiap malam. Sementara dengan kerelaan kau biarkan waktu yang menjadi fasilitas, walau memilikinya saja tak pernah terlintas. Lalu, jatuh cinta. Ah, aku tak ahli berbicara dengannya, karena dalam jatuh cinta pengalamanku selalu pahit dan sepah. Entah karena waktu itu aku tak sedewasa

Konversasi.

Sungguh, beberapa faktor yang membuatku lebih dapat jatuh pada seseorang adalah isi kepalanya dan apa yang jadi tabiat diluarnya. Karena bentuk dan lekuk tubuh suatu saat akan melayu dan rapuh. Kulit dan rambut yang kau rawat dengan jutaan rupiah suatu saat akan berkerut dan tanggal. Bentuk idealmu juga akan hilang, perutmu akan buncit, berlemak dan bergelambir. Tua nanti tulang pun tak sanggup lagi menopang bebannya. Suatu saat kita akan menopause, tak lagi bergairah seperti waktu muda. Lalu apa yang bisa di nikmati bersama berdua? Itulah mengapa aku lebih jatuh cinta dengan individu dengan ragam perspektif, dengan pikiran yang terbuka, tabiat yang santun dan berwawasan. Nanti, suatu pagi kau orang pertama yang akan aku ajak bicara bersama dengan kopi yang kau aduk untukku. Kita akan bicara masalah banyak hal, mungkin tentang kapitalisme, anarko-sindikalis, marx, hegel, lenin, stalin, adam smith, das kapital, madilog, Mein Kampf dan bagaimana carut-marutnya pemerintah nanti. Bis

Selfpurification.

Almost a week 'till today, I have been minimizing the daily dose of toxicity, but no, it ain't about smoke or alcohol, all I talk about is social media. I've been limiting Instagram with its feature, max two hours a day, limiting twitter with uninstalling it, and I'll open in web version if very necessary. You know, our living standards are disorientated because of it, can't lie, I'm a bit affected, sometimes I look down on myself because of other people accomplishment, the feelings kinda like hatred. On me and other people. I don't like their content because its fucking narcissistic for example, then the hatred tear down my energy, I feel unrelaxed and keep questioning why someone even does that shit. The other side, sometimes I feel offended with their comments, I feel offended with some stuff declining my point of view of something. And this stuff makes me think that, okay, social media is the way you express yourself, it's all your prerogative

Disliked.

I don't care about attention, I'm here to express, not to impress. Lately, I've been publishing a bit different content than usual. I write this content not because I want to show you what I am capable of, I write this to improve myself, but the readers of this site send me an email that state they don't want me to write this kind of content, they want the usual content about love shit and stuff. Listen, it is not the content that defines me, but I define the content. I don't like when people adore my works because of 'me' as an individual, not because of the quality in my content and works. Hey, I really trained a lot to write, to photograph, to make videos, to operate programs. I read a lot of books, I spend a lot of time in front of tutorials, I tried to make, and I fail a lot. But at least I learn something, talent is bullshit, hard work and consistency is the key. So, please adore my works, don't praise me, just enjoy what I create. It'

What is Friendship?

Lately, the usual feelings of me exaggeratedly excited in life became extinguished little by little. Living day by day make me realize that life is really doesn't make any sense. Recently, I always wondering about the most exact meaning of friendship. Does friendship means you must sacrifice your own style of getting into people? You must go around like a gang? You must always look together and declaring that you will miss them when they are not around? Hell no, an introverted ass like me who likes individual stuff and spending a lot of time by myself doesn't agree with each of their ideas. Friendship is a lot purer than just hanging around together, the fundamental factor of friendship is understanding the character. You have to know their individual behaviors, how they treat themselves, the way they think, what are they interested in. So, create a space, don't turn your circle into a jail, don't own them. Please be wise about having a personal relationship

I am what i am.

From this moment, I tried to write this blog in English. Despite to improve my own capability of writing in English, I'm kinda bored and needed something new yet different. Okay, let's say. Nowadays, things keep runnin' around in my head, dunno, but I feel kinda lonely. Ever wondering why I like metal songs so much? Because they make my surroundings fulfilled with things I can't explain. It helps me to maintain my anxiety to become exploded and gone crazy. I'm sure every person have their own mental issues. And every person has their own solution to breakthrough it. But, here is me, trying to look good and happy, work hard to nailing every problems that come and go, standing firm with a bleeding heart, heads up with a lot of tears. Sounds of anxiety is louder than thunder, it keeps me awake every night, stabbing me continuously. I tried to release the pain to music, poems, photography, editing some kinds of stuff. And yeah, it keeps me alive and proud until t

Spasi.

Sedang masuki fase spasi, membutuhkan ruang diantara torehan kata yang terpaksa kutulis dengan tinta bernama kehidupan. Paragraf kehidupan kutulis terlalu cepat, jiwaku terdesak-desak kalimat yang tertulis acak. Lalu momen yang datang kebetulan tepat, kuputuskan berhenti sejenak, sebelum kalimat yang akan kutulis selanjutnya, kusematkan spasi. Aku yakin, beberapa individu menyadari anehnya kehidupan. Mempertanyakan tujuan apa yang benar-benar nyata untuk dikejar. Uang, pasangan, mapan atau masuk ke surgaNya? apa yang benar-benar nyata dan tidak, semu sangat bias pemaknaannya. Lalu spasi kupilih, sebagai tanda akan persiapan untuk kalimat selanjutnya. Uang : secara subyektif aku mulai khawatir dengan stabilitas finansial, ketika nanti ayahku almarhum yang kapanpun bisa terjadi, aku akan jadi tulang punggung keluarga, akulah yang harus menanggung nama baik keluarga dan jadi penentu akan selamat atau tidaknya keluarga yang di bangun susah payah oleh ayahku. Ibuku mulai tua, tak b

Bisik.

Semesta menjahili lagi, dalam interval singkat kita duduk berdampingan lagi, bicara ringan sambil menutupi kegugupan. Ingin rasanya secara mendadak aku mendekatkan mulut ke telingamu dan membisikkan : Hei, aku jatuh cinta padamu lho. Taukah kau kalau tulisan-tulisan yang kau baca tiap malam itu hanya kutulis untukmu? Hahaha, ya memang sangat terbaca terlalu melankolis sampai mungkin kau tak percaya kalau aku yang benar-benar menulisnya. Dan ya, semua metafora memang untukmu. Hei, jadi setelah ini kamu akan kemana? Studi lanjut atau cari pengalaman di dunia pekerjaan? Aku setuju apa saja, asalkan kamu menemukan dirimu didalamnya, aku bahagia juga. Masalah karier itu terserahmu, yang jelas aku tak akan memaksamu bekerja dan aku tak akan memaksamu berdiam dirumah. Aku akan selalu memberimu kebahagiaan dan manifestasi kebahagiaan yang paling fundamental bagiku adalah kebebasan. Jadi, ya, jadilah bebas. Hei, jadi bagaimana? Mau 'kan suatu saat kita keliling dunia? Aku berni

Ego.

Puan pura-pura tak rindu, puan pura-pura menyesal pernah jatuh, bergelut dengan kata-kata mutiara karangan orang sebagai tameng akan rapuh dan kacau susunan perasaannya. Puan berusaha berhenti, mulai membohongi dirinya sendiri. Bahwa ada yang lebih penting dari orientasi perasaan, ada masa depan yang lebih penting untuk disiapkan. Puan secara tak langsung memaksa dirinya untuk berhenti berimajinasi tentang rasa hangat jemari Tuan yang ia harap-harap terletak lekat dijemarinya. Puan pura-pura tenang, sebagai gantinya ia pilih jalan memutar agar tak berhadapan dengan Tuan, dipersimpangan jalan. Melihat Tuan dari refleksi kaca, dari kejauhan, menahan kesepian. Tuan pura-pura tak peduli, walau kagumnya tercekik dan terasa tertusuk-tusuk. Tuan hanya melampiaskan, pada komputer, pada tulisan, pada tembakau, pada gelas-gelas kopi dan anggur. Tuan juga pergi dalam perjalanan-perjalanan. Menunggang besi yang berisik, berseteru dengan debu jalan. Tuan hanya memindahkan energinya pada perjal

Tidak ada yang salah.

Tak perlu ada yang salah, dipermasalahkan dan menanggung kesalahan. Pada akhirnya kita tak pernah bisa merencanakan akan jatuh cinta kepada siapa, dengan kadar kekaguman yang tak bisa juga ada batasnya. Tak ada salahnya ketika kita kagum kepada entitas yang kita puja secara subyektif, baik ia milik orang atau sudah menolak terang-terangan. Kita tak pernah bisa merencanakan akan menghabiskan banyak waktu yang menguras baterai perasaan, tak ada jatuh cinta yang sia-sia, tak ada manusia yang disia-siakan.  Lalu siapa yang tau waktu akan merubah kita dan dia yang kita kagumi? Apakah ia akan jadi milik orang lain selamanya atau suatu saat malah ia yang mencari kita sampai ke ujung dunia. Semua orang akan jadi kemungkinan yang sama besar potensi terjadinya. Jatuh cinta tak mengenal hukum probabilitas, ia berubah seenaknya, terus menerus mengubah gugus senyawa perasaan secara dinamis bahkan sepersekian detik intervalnya. Kita tak perlu merasa salah pada jatuh cinta, kita tak perlu me

Padang Bunga.

Dalam penjelajahanku yang tak tentu, aku mulai banyak mengeluh, kemana sebenarnya tanah impian tujuanku. Awalnya tak tentu itu seru, melanglang kesana kemari, mengisi memori tanpa ada batasan yang berarti, bagiku waktu itu, yang paling penting hanya bertahan dan selamat. Lalu setelah jauh perjalananku, setelah kulatih daya tahan dan daya selamatku, lalu apalagi? Aku harus menemukan akhir dari sesuatu yang kuawali. Aku memimpikan diriku akan berakhir pada warna-warni yang tak terhingga. Berbaring ditengahnya sambil melihat awan-awan bergerak pada birunya langit. Menyandarkan diri pada pohon besar berdahan kokoh, menggenggam tangan seseorang, dengan erat sampai matahari berat dan jatuh di barat. Melupakan keparatnya realita, menghamba pada cinta, persetan dunia. Padang bunga, Baru aku akan mati setelahnya.

Pisah

Malamku resah. Tenggat waktu semakin membuat gelisah, ketidakpastian akan tahun-tahun mendatang menghantui layaknya sebuah tuntutan yang harus kulalui dan selamat untuk hidup setelahnya. Didalam panjangnya kisah, aku membukukan banyak kesah. Bahwa dalam menulis dan menjalani kisah, aku harus menemui prinsip-prinsip agar tulisanku matang dan berarti. Dan sialnya, yang membuatku selalu ingin menulis bukan murni datang dari dalam diriku, ada juga beberapa tulisan dimana aku menghiperbolakan dia, sosok yang selalu kutulis dalam berbagai metafora. Aku dan dia, kami, menjalani kisah, melalui hari-hari berat yang kami pikul bersama, sayangnya kami tak pernah belajar untuk jujur akan perasaan, kami hanya belajar mempertahankan, ego. Entah hanya aku yang gundah ketika hari yang tersedia makin mudah dihitung, menuju entah, namun tak ada hal yang dapat kulakukan selain pasrah.  Keparatnya lagi, walaupun aku sudah banyak menulis dan memilih-milih kata yang baik. Ada kata kunci yang hilang

Kita, Abadi?

Suatu malam seorang tuan bersimpuh didepan tulisannya, membaca ulang curahannya. Tuan biasa membunuh waktu dengan menulis apa yang melintas, meringkas apa yang terlintas. Berbagai hal ikut memberikan kesaksian akan kata-kata yang tertuang : bintang-bintang, bulan, awan malam, rasa kantuk, kopi, anggur dan banyak tembakau. Ia menulis tentang banyak rasa, tentang banyak peristiwa, tentang logika, tentang asmara, tentang angan, tentang puan. Puan selalu terang dalam temaram, tuan tak menganggap gelap itu suram. Hitam malah menenangkan, puan terang karena dibungkus bayangan. Bintang yang jauh tetap indah dipandang bukan karena memancarkan cahaya, karena langit malam memeluknya erat dengan kegelapan. Tak apakan Tuan menghiperbolakan?  Tuan menemukan bahwa menulis adalah keabadian. Kata-kata akan tetap ada bahkan dipertanggung jawabkan di surga, menulis berarti mengabadikan sesuatu didalamnya. Makanya ia menulis tentang puannya, tentang cara juang anehnya, kata teman-temannya. Namu

Pergi.

Disebuah dimensi tak bertepi, ada sebongkah hati yang mengaduh tentang jarak yang sebentar lagi akan jauh. Ada puan yang merambisi pergi jauh, ada dunia yang hendak tuan rengkuh. Selama merajut rasa tuan tak pernah berterus terang, puan tak pernah ada keterangan. Puan selalu dibayangi pertanyaan-pertanyaan, sementara tuan sibuk untuk dapat memastikan. Tuan selalu merasa ada ketidakpantasan dalam menyatakan, puan selalu membuka ruang dan berharap diterangkan. Lalu ketika waktu semakin tenggat tuan bimbang, memberikan keterangan pada puan atau... langsung memastikan di waktu yang akan datang. Namun tuan tak percaya kepada waktu, sebesar ketidak percayaannya terhadap diri tuan sendiri. Tuan selalu berspekulasi bahwa waktu dapat menggerus rasa cinta puan, sebagaimana seorang puan, ia butuh kepastian di umur yang semakin matang. Tuan hanya punya keyakinan bahwa, yang ia perjuangkan bukan seorang gampangan, usahanya harus lebih dari sederhana apalagi sembarangan. Tuan berusaha pergi ke

Jalanku, bukan kalian.

Senin, dini hari. Fase yang paling berkecamuk akan datang, waktu dimana tanggapan orang terasa tajam dan menusuk. Momen dimana rasa ketidakpercayaan atas kemampuan diri dan merasa tak sebanding akan pencapaian-pencapaian orang. Hari esok akan lebih berat. Aku berkata pada hati kecilku, masa depanku, harus tetap pada idealismeku, harus tetap pada standarku, harus tetap pada jalanku. Aku akan menetapkan, mulai hari ini, aku akan hidup dengan caraku, bukan dengan cara lingkunganku, orang tuaku, atasanku, atau bahkan cara kalian. Jalan terjal yang kutempuh, tak ada pengaruhnya dengan hidup mereka. Komentator pemain sepakbola tetap tak akan merubah alur permainan, tak akan mengubah operan dan umpan, apa lagi mengubah kalah menang. Lalu biar saja, jalan mereka bisa jadi lebih landai, tapi kuyakin puncakku lebih tinggi. Aku tak ingin terbiasa mengeluh, lagi pula mengeluhku juga urusanku, tak perlu kukeluhkan semuanya agar orang tau. Mengharap simpati dan memaksa ingin dimengerti teras

Bisakah?

Aku berencana, namun bisakah? Aku berencana menemuimu setelah semua tuntutan rupiah bisa kupenuhi, aku akan datang dengan langkah yang yakin, mengetuk pintu rumahmu dengan tegas dan memasang badan dengan gagah dihadapan ayahmu. Aku akan mengajukan proposal, tentang konsep dan panduan teknis jatuh cintaku untuk membawamu ke waktu yang tak hingga itu. Aku akan berkata lantang layaknya seorang ksatria yang jatuh cinta kepada permaisuri dari seorang raja. Aku akan menjabat tangan ayahmu dan menyatakan kesanggupan. Aku berencana menjaga kekagumanku seperti saat pertama kali aku melihatmu di perempatan jalan  dulu. Aku ingin setelah kita bersama nanti, aku bisa tetap gugup memandang matamu, bibirku akan tetap bergetar ketika hendak berbicara denganmu dan akan selalu salah tingkah. Lalu jangan salahkan aku ketika aku terlalu berkeringat ketika menggenggam tanganmu. Dan tolong ketika aku mengajakmu ke tempat makan siang, jangan katakan terserah untuk dimana dan makan apa. Aku manusia mi

42 Fakta Tentang Saya

Sebelum meneruskan dan melanjutkan draft-draft tulisan yang saya susun. Saya akan bercerita secara subjektif tentang diri saya, selera dan cara pandang saya terhadap beberapa hal : Saya seseorang yang impulsif. Pikiran dan perasaan saya cenderung meledak-ledak. Terutamanya mereka berisik di waktu sepi dan memilih sepi di waktu berisik. Saya memiliki kecenderungan yang rendah dalam menaruh rasa percaya secara menyeluruh kepada orang lain. Tak lebih dari jumlah jari sebelah tangan, jumlah orang di luar keluarga inti saya, yang bisa saya percayai dengan cerita-cerita personal saya. Saya merasa belum ada orang yang mampu menerima dan meresapi ke-impulsif-an saya tentang ide dan cara berpikir saya. Maka dari itu saya memilih menulis, sebagai bentuk bercerita dan berdiskusi kepada diri saya sendiri. Saya merasa puas ketika saya dapat menyelesaikan tulisan saya dan senang ketika saya bisa merasa sepakat dengan apa-apa yang saya tulis. Saya orang yang cenderung tertutup dan menutup

Krisis Kepercayaan

Bicara politik, tapi aku menolak fanatik. Sebagai orang yang menyatakan diri bahwa tidak ada kekuasaan vertikal yang benar-benar berjalan dengan semestinya sejak Nabi yang terakhir. Sebagai orang yang meragukan demokrasi dan otoritarian. Sebagai orang yang mencoba keluar dari belenggu kapital dan selalu berpikir bahwa keadilan dan kemakmuran total hanya mimpi siang bolong. Sebagai orang yang masih meragukan sistem 'negara'. Sebagai orang yang masih tidak menentukan sikap dan tidak berpihak. Siapa yang harus aku percaya kalau semua yang kutanya selalu melemparkan opininya dengan bumbu-bumbu fanatisme dan mempunyai tendensi untuk mempengaruhi serta memenangkan debat?. Siapa yang harus aku percaya kalau kubu yang bertahan diklaim melakukan kecurangan serta tindak sewenang-wenang dan kubu yang lainnya mendeklarasikan kemenangan atas ketiadaan serta memotori gerakan umat untuk kepentingan politik, kepentingan perorangan dan golongannya? Lalu siapa yang harus percaya? Hukum

Jika memang kamu.

Jika memang kamu, yang setiap malam menyempatkan membaca tulisan-tulisanku, yang menunggu dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku, yang ingin berusaha menopang dan menggandengku keluar dari masalah-masalahku, yang ingin aku jadi alasan atas perasaan rumitmu, yang ingin aku menjelaskan semua ceritaku, yang benar-benar ingin tahu bahwa yang tertulis di dalam tulisanku memang kamu. Percayalah, yang aku ingin juga kamu. Seseorang yang kuharap membaca tulisanku, yang kuharap akan menunggu dan menanyakan kecamuk yang ada dalam diriku, yang berusaha menopang dan menggandengku dengan cara yang tak kutahu, yang kuharap memikirkanku dalam perasaan rumitmu, seseorang yang kuharap akan bisa kuceritakan segalanya, yang kuharap tahu bahwa semua yang tertulis dalam tulisanku hanya kamu. Jatuh cinta, perasaan, kekaguman dan rasa ingin memiliki memang terasa sesialan itu. Begitu rumit untuk di polakan, di kategorikan dan di runut. Kita sama-sama butuh kehangatan dalam berbicara,

Tentangmu.

Aku tak bisa menulis yang indah yang berbunga-bunga. Yang kuingin, langsung saja menikam di hati. Hari berlalu di selang antara hujan deras dan panas terik. Berlalu diantara sepi yang memeluk dan ramai yang asing. Berlalu diantara sibuk yang membosankan dan bosan yang menyibukkan. Hidup digantung oleh ambisi buta dan ketidakpastian, semua terjadi karena takut hari esok. Terlalu terintimidasi oleh waktu, tentang besok bagaimana dan jadi apa. Kupasrahkan saja, karena pasrah bukan menyerah, namun menerima sepenuhnya realita-realita, kuhadapi selayaknya, sekuatnya. Baik dulu atau sekarang, sepertinya rasa itu tumbuh dengan kebingungan. Tentang aku yang kurang pendirian atau belum sampai tahap matang secara pendewasaan. Semua hal jelas, semua aku yang tanggung, semua aku yang salah. Aku tahu kau menunggu, tentang kata kunci yang kau tunggu-tunggu selama ini, supaya secara resmi kau tau deklarasi apa yang sebenarnya, tentang aku dan perasaanku. Aku pun tahu kau bingung, karena kau

Kita Sama.

Saat kita bertatap, kita sama 'kan? Aku melihatmu begitu indahnya, mengagumi dunia yang terbias dan segala isi dirimu yang tercermin lewat matamu. Jadi jangan heran ketika aku menatapmu sedalam mungkin disetiap konversasi kita. Karena bagian tubuh manusia yang paling jujur bagiku adalah mata. Ketika aku menatapmu begitu dalam, kau tidak berpaling. Makanya aku dapat mengasumsikan bahwa kita sama : sama tergila-gilanya dan sama-sama menyembunyikan kegilaan itu. Hari-hari sepi yang kita lalui mungkin juga kita hadapi dengan cara yang sama. Yakni berusaha tegar melawan sepi yang menusuk-nusuk dan berusaha menciptakan penggambaran rasa sebisa mungkin. Entah seperti apa cara kita untuk saling melempar sinyal yang tak tertuju, namun saling berharap akan ditangkap dan diintepretasi oleh masing-masing dari kita. Bahwa aku jatuh cinta dan kamu juga, namun ada alasan tak kasat kata, yang dari sudut pandang manapun tak bisa kita tafsirkan. Tak bisa kupungkiri segalanya jadi terasa m

Eksistensial.

Eksistensi = Keberadaan. Sebagai makhluk sosial, yang hidup dalam golongan dan bergantung pada orang lain. Pemenuhan faktor eksistensial itu penting. Diakuinya keberadaan itu sangat penting bagi manusia. Bahkan beberapa manusia terobsesi untuk diakui, ingin didengar dan menjadi poros penentu. Contoh kecilnya aku, menuliskan opini-opini dengan harapan beberapa orang membaca atau menanggapi pola pikirku yang kutekstualkan ini. Aku berusaha memenuhi salah satu faktor yang harus kupenuhi, eksis sebagai penulis blog dan lain-lain. Namun beberapa orang ingin diperhatikan dan diketahui keadaannya dengan cara yang lebih ekstrim, melakukan komunikasi tak perlu tentang ia dan susahnya, merasa bahwa ia penting dan selalu ingin dilibatkan dalam sebuah peran, melakukan pencitraan agar bertopeng baik dan berkharisma. Bagiku, jenis-jenis manusia seperti ini hanya termakan egoisme, tinggi harga diri dan narsistik. Beberapa mengklaim bahwa narsisisme adalah bentuk-bentuk kebanggaan dan keci

Manusia.

Kita manusia. Kita berbicara banyak hal, tentang hidup , cinta dan mati. Mendalami setiap definisi-definisi yang belum pasti, mengasih makan akal dan rasa keingintahuan. Memproyeksi dan menalarkan yang jauh, mengeksplorasi potensi menembus batas tak pasti. Kita manusia. dan hasrat paling sah bagi manusia adalah mencari dan mendefinisikan makna-makna secara konkret, bukan konklusi yang dirumuskan dan disetujui secara kolektif. Manusia yang paling beruntung adalah mereka yang berminat dan memiliki kemauan untuk mendalami lebih jauh lagi, berpikir antitesis, hingga membuat tesis-tesis baru secara individualistis. Kita manusia. Terlahir dengan kadar tinggi sikap dan sifat egoistis. Jalan pikiran manusia akan berujung pada keselamatan dan pengakuan diri sendiri. Self-interest akan kebutuhan yang diarih dengan jalan paling mudah, aman dan menguntungkan hanya berujung pada pemenuhan dan kenyamanan. Dan manusia yang hebat adalah mereka yang berperang dengan egoismenya, singkat kat

Biar aku yang mengemban cinta.

Jatuh cintaku larut. Buku-buku puisi, roman dan ideologi sudah bertumpuk. Kata orang, supaya tak jatuh cinta seperti orang mabuk, logika perlu dipertajam dalam perenungan. Semua itu risetku, untuk menyempurnakan cara jatuh cintaku dan implementasinya nanti kepada siapapun yang berhak menerima rasaku. Benih cinta itu sudah coba kutanam sesuai panduan, kupupuk sesuai takaran dan sudah tumbuh tegak. Seraya waktu berlalu daunnya mulai rimbun. Namun sejauh pohon itu tumbuh, belum ada yang ingin singgah untuk sekedar berteduh, apalagi berlabuh untuk waktu yang jauh. Aku berguru pada siapapun, pada apapun. Mendengarkan kisah depresi percintaan mereka, yang begitu pelik dan mendengar kisah dari orang yang hatinya kering kerontang tak pernah ada cinta yang tumbuh subur menghijaukan. Aku juga mendengar kisah cinta dari sepoi angin di pegunungan, dari gemerisik gesekan daun di hutan, dari suara deru air aliran sungai, dan dari senyapnya sunyi, dengan caraku, dengan maksud tertentu. Dan ak

Lelah.

Berpura-pura memang melelahkan. Mengingkari perasaan yang diciptakan dan diperuntukkan sebagai penggambaran akan sesuatu malah menyakitkan. Seperti, Ada rasa kagum yang harus kubungkam dan ada rindu yang kupaksa diam. Ada ketidakrelaan yang selalu kututup pemakluman. Ada kau, namun aku tidak punya keberanian. huh. Lalu diwaktu yang selarut ini, mungkin kau sedang terlelap. Kalaupun tidak mungkin kau sedang membaca tulisan-tulisanku yang kau harap itu tentang kamu. Namun, percayalah tulisan ini hanya untukmu seorang dan tak pernah ada yang lain. Aku selalu membayangkanmu, ingin sekali melihat reaksimu membaca tulisan-tulisanku. Berharap suatu saat setelah kita bersama, kau meminta pertanggung jawaban atas semua diksi dan fiksi yang kubuat untukmu namun tak pernah kusampaikan. Kuyakin kau akan menanyakan pemaknaan akan segala sesuatu yang kutorehkan diatas tuts keyboard. Tentang hiperbolaku yang sampai begitu, tentang kamu. Percayalah bukan hanya kamu yang cemas, ada aku, yang

Sembunyi.

Hari ini terbukti, kita memang keras dalam pembiaran. Kita keras dalam memendam dan diam. Kita kukuh dengan hanya sebatas pandangan dan kejauhan. Hari ini kusadari jatuh cintaku sesialan itu. Aku yakin kau menangkap binar mataku, kurasakan juga mataku berpendar ketika memandangmu. Lalu seketika, gerak-gerikku kaku, lisan membisu, menunggu siapa yang mulai dulu. Namun, astaga, waktu berlalu tanpa memberiku keberanian sedikitpun untuk sekedar berbincang, apalagi yang lain. Kita berakhir pada sunyi dan sembunyi.

Aku dan Kagumku.

Untukku. Dan untukmu diluar sana yang mengagumi dari sisi paling gelap. Merasa abu-abu, karena ia terlalu gemerlap, untukmu yang rasa cintanya berisik, namun akhirnya memilih senyap. Aku melihatmu. Dengan senyum yang sering kali kutuangkan dalam tulisan dan lukisan. Yang itu-itu saja. Kamu dan kamu lagi. Namun jemu sudah punah hanya karena lekukan senyum itu berasal dari kamu. Lalu apalagi? apalagi yang mampu aku tulis dan gambarkan tentangmu? Aku sudah mencoba semua, menggambarkanmu dalam bentuk imajinatif yang menentang hukum-hukum realisme. Membuatmu jadi bunga puisiku, jadi nada laguku. Aku pernah merasakan kagum, sekagum itu!   Namun aku tak sanggup, belum ada kata-kata yang dapat menggambarkan rasa tidak sanggupku itu. Entah apa alasannya, entah apa rasanya. Hanya saja aku tak pandai memulai, aku terlalu takut merusak keadaan, aku takut aku tak bisa kagum lagi bahkan dilarang untuk kagum padamu. Tak apakah aku takut? aku manusia yang berperasaan juga. Ah, kagum itu

Masa lalu dan imajinasi

Cuplikan tulisanku. Mungkin kita sama-sama tidak bisa percaya dengan ketidaksesuaian yang tiba-tiba datang diluar rencana. Tentang aku yang terlalu begini, mengenai sikap impulsifku yang tak kau tau. Dan kondisi lain yang datang begitu saja tanpa permisi. Kita jadi tak bisa dekat sesuai dengan rencana, perkiraan, ekspektasi. Lalu rasa hilang begitu saja, disapu angan, ditelan waktu.                Kita sama-sama pasrah pada terserah, mengklaim bahwa anganku yang dulu untuk mendekapmu dan menjadikanmu dunia lain tempat aku hidup untuk hari kemudian, hanya sebatas angan, bahkan keinginan sudah tak sekuat itu untuk merealisasikan. Lalu kamu menjadi kamu dan aku menjadi aku.                Dua insan yang pernah berharap untuk saling menopang sayap, terbang mengangkasa bersama, namun tak sempat tinggal landas. Bertemu saja kita canggung, takut membuka pembicaraan karena rasa kita sama-sama dalam dan takut kehilangan. Tak kusangka jatuh cinta sesialan dan serumit itu.            

Diantara ruang dan waktu

Eksplorasi tepi-tepi dimensi, mencari partikel cahayamu yang meredup. Aku berencana menemukanmu, dalam spasi antara detik satu dan yang lainnya. Aku melihatmu, di kejauhan, namun bagai fatamorgana, kau selalu lenyap, fana. Entah, ada ruang yang meraung dalam diriku, ia kesakitan, terjangkit kesepian. Aku tak tega, sudah berapa lama ia begitu. Logika sudah berkali-kali menenangkannya bahkan menegurnya dengan keras agar tidak kerap merengek. Namun, pada akhirnya logika iba.  Maka dari itu rencanaku mememukanmu semakin kuat, karena sudah penting dan agak mendesak. Supaya ruang tersebut terisi dan berhenti meraung.  Aku mulai dari hulu semesta, mengarungi bintang-bintang dan sampailah di hilir. Dimana semesta terpecah belah, yang ada diseberang hanya ketiadaan, kekosongan. Bahkan mencarimu di galaksi-galaksi yang ada juga tak kunjung kudapatkan hasilnya.  Cahaya yang menuntunku sudah semakin meredup kehilangan dayanya, bahkan bayanganmu yang sempat termanifesasi di waktu-waktu y

Jangan seperti yang lain.

Cinta yang orisinil, custom-made dan organik. Aku mau nyaman yang tidak cari aman, aku mau hobi yang tak soroti, aku mau hidup dibalik cahaya redup. Aku mau cara lain yang tak seperti yang lain. Aku tak mau cara orientasi berperasaanku mengikuti trending topic, yang akibat pembebanan pergaulan, membuat perasaan bagai dilelang, diobral, dijual murah. Lagi-lagi karena sedang trending. Karena sepi sudah tak bisa dihadapi sendiri dan dinamika-dinamika ala drama yang dijual di pasar membuat hati melentur, mencacati hak dan kewajibannya. Aku tak mau menjalin hubungan yang sekedar terhubung tanpa ada komitmen konkret berkepanjangan. Tanpa ada saling pilah pilih pulih. Aku ingin lain, tak seperti yang lain.

Jangan sekedar jatuh cinta.

Aku tak mau kau, atau aku, sekedar jatuh cinta, dan sudah, begitu saja. Yang bisa datang dan menguap kapan saja. Aku tak mau jatuh cinta sekedar karena paras, sekedar karena nyaman, sekedar cari aman. Aku mau jatuh cinta dengan alasan, dengan pendirian, dengan berbagi impian. Aku mau jatuh cinta, ketika kita sama-sama bergetar saat berbicara, menangkap sinyal-sinyal pasti, lalu beresonansi! Aku mau jatuh cinta dengan sadar, dengan perasaan yang benar-benar berbinar. Aku ingin jatuh cinta dengan obrolan yang pas, mengena dan saling sambung. Aku ingin kita berbagi mimpi, berbagi memori, sama-sama bersedia untuk saling menopang ambisi, lalu mendunia, menjelajahi setiap pelosok negara-negara yang ada, bergandeng tangan, menggenggam cinta ke setiap inci dunia. Aku ingin jatuh cinta yang benar-benar jatuh ke dalam kata cinta yang nanti kita maknai berdua. Aku ingin jatuh cinta dengan diskusi, bersama menafsirkan kefanaan dimensi, mengabaikan waktu, membiarkan obrolan menggaung dala

Bintang untuk malamku.

Malamku gelap, kau tahu, setelah beberapa lama sok berani sendiri dan sok mencoba nyaman berada di sisi gelap. Akhirnya hati meronta, ia protes, menurutnya pemikiran terlalu idealis, terlalu ingin semuanya selaras, realistis. Harusnya perasaan yang egois, bukan pemikiran. Namun ternyata ego itu produk koalisi antara idealisme yang bukan pada tempatnya dan perasaan bangga akan pilihan. Terbentuklah egoisme yang bermanifestasi dalam bentuk sikap idealis. Dan aku terjangkit itu, menjijikan bukan? Hebat dalam merumuskan pola pikir dan pendirian, malah tak tau ternyata tersesat. Itulah kelemahan para idealis, tajam ke luar, tumpul ke dalam. Kritis saat dikritik, tapi buta pada personalitas diri. Sekarang gelap baru terasa dingin, hitam dan suram. Parahnya lagi, tak ada kehidupan lain di sini. Sisi gelap juga lama-lama membosankan. Apalagi ia terlalu realistis, tak ada warna dan harapan. Pantang membicarakan cinta-cintaan.  Dan setelah kupikirkan berulang-ulang, ternyata kesepian itu w

Si Sok Bijak

Desember 2018, aku pernah sedikit berselisih dengan orang tua, terutama ibuku. Terhitung dari Desember, aku mencoba part-time, sebagai creative director bagian marketing suatu perusahaan start-up dibidang marketplace. Dalam prosesnya, ceritanya panjang. Aku sempat dilarang oleh Ibuku, dengan dalih aku disini hanya untuk fokus kuliah, bila uang bulanan dari ayahku kurang, ibuku bersedia menambahkan, kalau ada keinginan yang ingin direalisasikan, ibuku bisa carikan. Namun, aku, si sok bijak ini, berpikiran, biaya yang ditanggung ayah dan ibuku sudah terlampau banyak, di umur setua itu harusnya mereka sudah bisa merelaksasikan badan dan anak-anaknya sudah bisa mandiri. Belum lagi adikku yang harus menuntaskan studinya di Eropa sana, berapa biayanya. Aku berpikiran untuk sekedar membantu mereka, berkontribusi sekian persen dari pengeluaran yang harus dikeluarkan setiap bulan, berkontribusi sekian sendok dari lauk-pauk yang tiap sore di hidangkan di meja makan. Lagi pula aku ana

Sepenggal kisah dari Jogjakarta

Izinkan aku berkeluh dan berkesah. Hari ini pagi sedang sedih, tangisnya mengembun di kacaku. Ia juga melampiaskannya kepada daun-daun yang turut kebasahan. Matahari pagi pun malu-malu untuk terbit, mungkin ia merasa tak enak dengan pagi yang sedang muram, maka dari itu sinarnya terbit pelan-pelan, tak begitu terang, tak begitu terasa menghangatkan. Hari ini juga aku berpikiran untuk membawa tulisanku ke level selanjutnya, yang lebih serius dan yang lebih 'menghasilkan'. Tapi aku takut kehilangan esensi menulisku, aku takut nanti aku hanya menulis untuk popularitas, untuk menghasilkan, bukan panggilan jiwa, bukan curahan hati, bukan meresahkan suatu hal dari intelektual. Yasudah kubiarkan saja jemariku begitu, dengan harapan untuk menulis dengan hati, dengan keresahan akan bengkoknya realitas yang begitu bias.  Jogjakarta dan 2019. Sudah cukup lama aku menumpang disini. Memupuk asa dan cita. Bertemu mereka yang seragam visi, merasa sekeluarga dan bersaudara. Kis

Menemukan Hati

2019. Tahun titik balik. Semua akan berakhir dan dimulai di tahun ini. Aku pernah merasa menemukanmu. Bahwa dari ratusan percobaan dan jutaan kemungkinan, aku pernah merasa bahwa kamu adalah yang satu. Tempat semua kata-kataku tertuju, terakumulasi dan tersimpan dengan hangat. Aku pernah merasa bahwa kamulah cahaya semburat merah terakhir, yang padam ketika senja hendak pamit. Ternyata kamu hanya kata-kata tanpa makna yang ada diantara perasaan dan pemikiran. Dan kamu hanya sepoi angin yang berlalu dengan dingin. Tidak sampai ke situ ternyata, kita sama-sama terjebak dengan diri kita sendiri, dengan kebanggaan dan narsisme kita sendiri, dan sangat jatuh cinta kepada diri kita sendiri. Dan percobaan-percobaan itu, cuma sekedar nominal, pemenuh kuantitas tanpa kualitas. Hampa sekali bukan? Namun setidaknya aku belajar, bahwa 'menemukan' tidak selalu linier dengan 'mencari'. Menemukan lebih kepada meyakinkan diri sendiri akan pilihan-pilihan yang ada. dan yang