Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Kalau Memang Aku

23 Desember 2017 Bertanya. Apakah semua hiperbola yang kau ukirkan itu memang untukku? Dan segala tingkah depresi itu apakah memang bentuk keputusasaan atas tidak berdayanya kau dalam merengkuhku? Dan segala nyanyian yang kau jaga aku dari tidurku itu, apakah sebenar-benarnya untukku? Dan jarak yang kau takutkan itu adalah jarak temu kau denganku? Dan apa berjuangmu yang kau tunjukkan itu supaya kau bisa menyetarakannya dengan berjuangku? Supaya 'saling memperjuangkan' bukanlah sebuah kata imajiner yang mengendap membentuk ke-omong-kosong-an? Apakah semuanya itu kau arahkan supaya arahan-arahan ku searah dengan arahanmu? Kalau memang aku, Semoga itu meyakinkanku yang kucari memang kamu.

Semoga Namamu 'Rumah'

17 Desember 2017 Kami melangkah, melanglang buana. Mencari konsepsi kehidupan dan penghidupan. Merangsek kedalam kompleksitas ruang dan waktu. Bertumbuk dengan jutaan partikel yang takkan pernah padu. Memerangi kegilaan hidup, menantang dunia. Lalu kami beririsan, bersinggungan, saling mengindahkan. Lalu disampingnya, ia ubah tanah tandusku menjadi taman bunga. Teriakku menjadi senandung merdu.  Semoga seiring waktu berlalu, ia, tempatku kembali, tempatku berteduh dari beban, tempatku menjatuhkan semua tangisan. Semoga ia, yang mengubah bangunan sederhana menjadi sebuah tempat tinggal. Semoga ia, satu-satunya alasan aku terus pulang. Semoga Namamu 'Rumah'

Sama Sama Menunggu

11 Desember 2017 Tulisanku muncul lagi. Kita berdua tau, kita menumbuhkan rasa yang sama. Menatap dengan kekaguman yang sama. Dan berbicara dengan nada yang senada. Kita beresonansi, saling menyambut sinyal-sinyal yang terpancar melalui tingkah laku kita. Kita sadari itu, tapi kita menampiknya dengan pikiran egois. "Kalau ia tak lebih dulu, tak mungkin aku."  Setidaknya sebelum lebih lanjut membahas kesamaan dan keselarasan, aku sudah menemukan garis tengah atas keserasian. "sama-sama egois" kita tumbuh dengan pikiran itu. Semakin lama kita bersua, semakin tak mau memulai kita. Bagai kita bertemu dipersimpangan jalan yang sama, lalu bertatap, bertukar senyum sampai akhirnya saling melewati dan memunggungi. Tapi hebatnya kita tidak pernah saling melupakan dan terus-menerus saling merindukan. Membuat hiperbola-hiperbola yang sama, menulis dengan susunan aksara yang sama dan melukis dengan kehampaan yang sama. Dan lagi-lagi kita saling membiarkan. "

Menghilang dari tatapan.

10 Desember 2017. Aku sadar beberapa waktu kebelakang sulit untuk mencarimu diberbagai lapis dunia maya. Kalau dulu diwaktu senggang aku dapat menatapi ulistrasi dari dirimu berlama-lama. Sekarang kesempatan itu hilang dan jalan satu satunya adalah menatapmu langsung dengan berdekatan. Dan kuyakin kau paham aku tak seberani itu, menatapmu dalam-dalam, walau dalam diam. Hilangmu kurasakan, namun senyum manismu membekas dan selalu kurindukan. Kalau boleh ku pertanyakan. Mengapa kau hilang dari tatapan?

Hidup itu anugrah

06 Desember 2017. Untukku dan kalian. Hiruk pikuknya rutinitas dengan waktu bernafas yang sangat terbatas membuat diri lepas jauh dari ambang bebas. Jantung yang memompa darah keseluruh tubuh selalu bercerita lelah sementara deadline selalu membuat kerongkongan ingin muntah. Belum lagi hati yang terus dilanda gundah akan ketidakpastian esok hari yang selalu mendatangkan gelisah dan tak kenal sudah. Setelah kau pahami itu semua, ketauhilah. Hidup itu indah. Jalani masalah dengan tatapan cerah. Sambut manusia baru dengan senyum ramah. Ajak mereka untuk sama-sama sumringah. Dan yang paling penting sadarilah. Hidup itu anugrah. 

Aroma Kopi dan Asap Tembakau

Sebagai manusia yang bernurani, waktu itu aku pergi mencari hati. Yang mungkin sudah menghitam akibat forum-forum diskusi yang tak kunjung menemukan solusi karena di dalamnya penuh dengan egoisme yang saling ber-oposisi. Membawa kepentingan masing-masing yang katanya demi kepentingan bersama. Lucu bukan? Singkatnya aku pergi, bersama teman dengan seragam visi, untuk menenangkan diri. Sekedar menikmati kopi dan tembakau sebagai kearifan negeri ini. Bersenda gurau membicarakan hal-hal tak penting yang tak sengaja kami bahas sampai pagi. Ditemani secangkir kopi yang entah mengapa awet sekali walaupun di hirup seperti setengah detik sekali. Tak lupa tembakau asuhan petani pribumi yang setiap hela nafas kami hembuskan, mengandung cerita yang terbakar melalui tenggorokan ini. Aku merasa ini beda sekali dengan forum diskusi yang kualami, apakah tak bisa diskusi dijadikan media yang sama seperti yang kulakukan dengan kopi dan tembakau ini? tak perlu membawa idealisme pribadi, kepent

Ignoran.

Hari ini, 12:30. Sedari kemarin aku memikirkan, ternyata ada hawa yang entah mengapa dengan senyum sederhananya, membuatku ragu-ragu. Dengan bicaranya yang begitu padu, dan aku yang selama ini tak acuh atas sikapnya yang teduh itu. Dan perhatian-perhatian kecil yang selalu ia tanyakan tentang masalah-masalahku. Tentang bagaimana ia menyemangatiku, membuatku mengaduh tak tentu. Aku hanya bisa berharap, kita tak saling membiarkan, dan membuyarkan. Saat ada rasa yang tumbuh diantara kita, tak kita pikirkan. Aku harap kita tak beranggapan, bahwa rasa itu palsu dan salah kaprah. Bahwa hati kita tak mungkin bertemu diujung waktu, diakhir pertemuan yang tak mungkin menyisakan harap. Aku hanya ingin berharap bahwa kemungkinan selalu ada, dan aku ingin diriku memahaminya sebelum aku ingin kau juga begitu. Aku ingin sadar, diujung waktu nanti. Setelah ribuan kilometer kita berpisah, setelah benua menjauhkan kita. Selalu ada kemungkinan aku tertambat di pelabuhan, pulang ke sebuah ban

Biarkan Begitu

Aku memilih jalanku. Pilihanku yang membentukku, dan membentuk hari-hari yang akan datang untukku. Sama halnya, aku tak bisa memintamu untuk mengertiku dan mengakuiku. Bagimu aku begitu, kau menunggu-nunggu aku menghampirimu dan meneriakkan kata-kata yang sudah dari dahulu ditunggu lantangnya oleh telingamu, dan bagiku aku begini. Aku yang begini dan anehnya kau berusaha mengerti, mencoba memberikan senyuman atas apa yang kupilih sendiri. Menyemangatiku dari arah yang tak bisa kusangka dan mana tahu, aku selamat sejauh ini karena munajatmu kepada pemilik semesta atas kebijaksanaannya menciptakan aku untukmu. Yang tak kusangka, kau pilih aku sebagai objek atas kekagumanmu. Aku hargai itu. Tapi aku begini, terlalu banyak pertimbangan dan perhitungan untuk memulai sesuatu untukmu. Dan bahkan aku sendiri hanya mengkhayal, akan perasaanmu padaku. Seliar-liarnya aku mengkhayal untuk menenangkan diriku sendiri. Bahwa ada orang yang masih menyukai, dengan banyak noda di sisi gelap

Ia Ada

Ia ada, namun tak tampak. Mungkin kau tak sadar, orang itu ada. Ia berkeliaran disekitarmu, mengamatimu, memandangimu. Mencari-cari waktu supaya dapat menangkap matamu saat matanya ingin bertemu. Supaya kau dapat lebih lekat memandang jiwanya, mengetahui maksudnya. Ia mengobrol denganmu, namun sadarkah kau kalau ia selalu menundukkan pandangannya? berbicara tanpa ada kontak mata. Tanpa menunjukkan adanya tanda-tanda rasa. Taukah kau ia menyembunyikannya? Dan ia berusaha tak bergelagat aneh supaya kau nyaman disekitarnya? Ia menjadi orang yang mengabaikan kadar intelektualistasnya, mengesampingkan logika dan kesibukannya, pangkat dan jabatannya, wibawa dan kharismanya. Mengembalikan diri ke titik nol. Titik terendah seorang pengagum. Menyatakan diri tak punya apa-apa dan mempersembahkan perasaan sederhana yang ia harap-harap untuk dibalas.  Taukah kau ia menghamba kepada semesta, agar sekiranya dapat diberikan kemudahan supaya kau dimudahkan bertemu dengannya? Taukah kau

Berlalu

Aku melihatmu. Dari seberang sebuah ladang kehijauan, saat kau dengan gaun putihmu melagukan senandung syahdu tentang kehidupan. Aku ingin mencoba menghampirimu, tapi aku takut mengganggu senandungmu. Aku takut mengotori gaun putihmu. Lalu tak ada lagi kesempatan untuk sekedar menatapmu. Untuk sekedar mengagumimu. Aku tak tahu kau sadar atau tidak, aku tak tahu kau menyadari keberadaanku atau tidak, aku tak tahu kau merasakan maksudku atau tidak. Namun setidaknya, lihatlah mataku. Balaslah tatapanku, carilah. Apa ada kau didalam sana? Apa kau sama sekali tidak melihat ada seseorang yang mengharap balasan didalamnya?  Kekaguman itu menyakitkan, akui saja. Aku bukan seorang pengemis, yang meminta. Aku bukan binatang buas, yang menerjang. Aku bukan aktor, yang mencari perhatian. Aku diriku, yang tak mampu membuat retorika representatif dari segala kekaguman yang tumbuh. Aku diriku, yang tak mampu menunjukkan gestur kekaguman yang nyata. Aku diriku, yang bahkan tak mampu membukt

Bimbang

Aku tak tahu bagaimana caranya, apa aku harus jatuh cinta dengan mudah seperti orang-orang? atau aku harus menunda-nunda untuk memantapkan penilaian sambil dicemooh orang-orang? Bagiku, jatuh cinta itu membingungkan. Dan anehnya, malah orang lain yang memberikan tuntutan. Sedangkan, untuk mematangkan dan memantaskan diri saja masih dinomor sekiankan. Lalu untuk apa jatuh cinta kalau hanya untuk menghindari kesendirian dan mengisi kebosanan? dan ketika jatuh cinta sudah membosankan, apa yang harus kita lakukan? Datang lalu tinggalkan? lalu setelah beberapa waktu kemudian. Akhirnya kita sesalkan? Berharap kesalahan bisa dikembalikan dan dimaafkan? Lalu jika segala penilaian hanya dari penampilan apa gunanya Tuhan menciptakan perasaan? Apa cinta hanya datang dari egoisnya penilaian pengelihatan? Sementara hak-hak perasaan terabaikan? Dan ketika menjalin hubungan, kenapa manusia inginkan kesempurnaan? Ketika ada kecacatan berarti ada ketidak cocokkan, kemudian cerita berakhir naa

Rupanya Kamu

Jangan tertawai aku, sekarang dari kejauhan, kamu dengan senyum sarkasmu itu. Tertawa ringan dengan nada mengejek. Aku dengan sisi liarku, dan kamu dengan sisi lembutmu. Aku dengan ketidakpedulianku dengan apapun, dan kamu dengan sifatmu yang menjagaku untuk sekedar peduli dengan diriku sendiri. Aku tak pernah menoleh ke arahmu, namun kau yang tetap mau peduli denganku apapun yang kuminta kamu untuk memperdulikanku. Hanya saat aku kembali memintamu untuk peduli, lagi-lagi dengan senyum lembut yang penuh tanda tanya itu. Ia memanggilku, untuk berbincang dan mendengarkan nada lembut yang selalu keluar dari bergeraknya bibirmu itu. Setiap dan setiap saat, aku mencoba berbincang denganmu. Bibirmu selalu menyambut ucapan pembukaku dengan senyum yang lebar merekah, dengan tatapan dan dagu sedikit menunduk teduh . Aku terkesima. Hanya saja aku tak bisa membalasnya. Kalau ada harga yang bisa kubayar, katakan saja. Namun kamu pantas untuk laki-laki dengan kehormatan lebih dari ak

Kamu-ku

Kamu api unggunku, yang menjadi tempatku menjatuhkan penat yang teramat pekat. Menumpas lelahnya rutinitas yang semakin keparat. Mengubahnya menjadi bara api penyemangat, hangat. Kamu hujanku, yang mana saat segala suasana pecah mengering. Tetesmu mengusap letih dan kakunya raga lelahku. Membirukan isi kepala yang tersumbat karena pening. Mengalirkan peluh keringat dari kusamnya lekuk wajah, menjadi sumringah, cerah. Kamu lautku, yang dengan bebasnya aku meneriakkan keluhan-keluhanku. Yang selalu balut dengan sisi kuatku, dan kuhempaskan sekarang padamu . Sambil menangis memekik, mengigau, meracau. Kamu awanku, yang setiap hari kuharap-harap keteduhannya. Melindungiku dalam temaram bayang kelabumu. Menghindarkanku dari tersengatnya kalbu oleh panas yang tak perlu. Hingga akhirnya kurebahkan tubuhku, menoreh ke atas, lalu melagu. Kamu tulisanku, yang kususun dengan teliti. Ku ukir semestaku aksara per aksara.  Diatas selembar kertas dalam diari. Lalu kusimpan disetiap

Kaki untuk kembali

Aku akan bercerita tentang kakiku, yang tak pernah tahan untuk berhenti melangkah ke tempat yang baru. Ia mudah bosan, mudah muak dengan kemonotonan. Sulit sekali menenangkan, makanya ia sering kutawarkan janji-janji, bahwa disuatu hari akan kuajak ia pergi kepelosok negeri. Barulah ia tenang dan mencoba mengerti. Dalam beberapa hal aku setuju dengannya, bahwa rutinitas itu memang sangat membosankan. Tapi begitu yang orang-orang selalu lakukan, dan terasa sangat aneh kalau arusnya kulawan. Bahkan orang-orang yang berhasil melakukan rutinitas dengan baik , akan dapat predikat baik dikelasnya. Lalu orang-orang mulai menilai bahwa rutinitas itu baik dan perlu. Disisi lain orang yang keluar dari kemonotonan itu dikecam. Dianggap orang-orang penista kebiasaan. Kakiku membawaku menuju banyak hal. Ia membawaku kepada orang baru, ke tempat-tempat baru, ke ujung-ujung daratan bahkan mendorongku menyelami lautan. Ia membawaku kepada kebaikan-kebaikan baru. Ia membawaku menjadi pribadi

Sepotong Rindu

Semenjak kita berjarak dan lama tak saling bertatap. Aku penasaran, ada rasa yang sangat mencekam yang bersemayam. Entah di organku sebelah mana, terasa sangat berat seperti serasa ingin memberontak dan mengoyak. Belakangan ini, aku belum sanggup mendefinisikan. Namun lama kelamaan aku mengerti. Ini resikonya. Resikonya aku mengikatmu. Dan memang setelah kurasakan lebih dalam, rasa ini muncul semenjak kita berpisah, lain tempat, lain waktu. Orang-orang menyebutnya rindu, tapi semua orang yang kuminta penjelasannya. Bagaimana bentuk rindu itu? Satu, sepuluh, seratus orang kutanya. Rindu versi mereka berbeda-beda. Rindu ini kejam, karena bagaimanapun kamu menggambarkannya ke orang lain. Rindu akan tetap subyektif. Dan akan selalu tergambarkan dengan bentuk yang egois. Mengapa Tuhan menciptakan rindu? mungkin dahulu kala, Adam dan Hawa, dilemparkan ke Bumi dengan terpisah jutaan kilometer jauhnya. Tuhan memberikannya dua potong rindu sebagai jaminan mereka berdua akan dipersatu

Begini Adanya

Aku tak mau muluk-muluk. Semua terserah padamu, dan apa yang ada dalam diriku, sepenuhnya prerogatifmu untuk menyimpulkan. Aku tak pernah membuat-buat sesuatu yang tak pernah kubuat. Atau mengada-ada sesuatu yang memang tidak ada. Aku bicara begini, karena kau begitu seringnya mempertanyakan. Sejauh apa aku bisa meyakinkanmu? Jujur saja, tidak bisa! Dan apa yang kau pertanyakan dari kemarin itu, aku tidak memiliki semuanya. Kau memintaku, di waktu masa depan nanti dengan materi? Aku tak memiliki bahkan 1 sen pun dalam kantongku. Karena itu aku tak sanggup menjaminmu dengan materi yang cukup. Lalu kau semakin membelitkan pertanyaan, kau memintaku menjamin dengan kesetiaan? Tak perlu selamanya, esok pun. Hati manusia akan berubah dan terus berubah. Lalu kau memaksaku menjaminmu dengan setia, bagaimana kalau Tuhan membolak-balikkan hati ini? dan atas kehendaknya aku berpaling? Sudah, aku menjawab, tak bisa menjaminmu dengan kesetiaan. Kemudian kau bertanya lagi, bagaimana d

Aku Takut

Kau bilang, kau menyukai lautan. Tapi ketika desir ombak mulai mendekatimu. Kau malah menghindar, lari ketepian. Kau bilang, kau menyukai pegunungan. Tapi ketika kau mendaki ke ketinggian. Kau malah mengeluh, kelelahan. Kau bilang, kau menyukai dingin. Tapi ketika angin mulai berhembus. Kau malah mencari kehangatan. Kau bilang, kau menyukai bulan. Tapi ketika ia sedang bersinar terang. Kau malah terlelap, tak menyaksikan. Kau bilang, kau menyukai kesendirian. Tapi ketika sedang hikmat merenung. Kau malah gelisah, kebosanan. Kau bilang, kau menyukai hujan. Tapi ketika ia turun dengan deras. Kau malah berteduh, takut kebasahan. Karena itu, aku takut ketika. Kau bilang, kau menyukai aku.

Senandung Semesta

Suatu ketika aku pergi ke tempat yang beberapa kali pernah kudatangi. Tempat dimana bintang-bintang terlihat jatuhnya. Dimana zat-zat yang terobsesi sepi, akhirnya bersemi, saling menyemangati dan memaklumi. Dan api unggun yang dinyalakan disana begitu hangat, menemani malam yang dingin menyengat, serta secangkir minuman yang rasanya banyak ditolak orang, namun maknanya tidak, apalagi kalau bukan kopi. Bicara tentang bintang, aku banyak berbincang dengannya. Ia penyabar, menungguku menghampiri , sekali waktu dalam beberapa bulan di pucuk-pucuk gunung. Aku bercerita padanya, tentang bagaimana kabar bumi sekarang. Walau ia tak pernah memberi gambaran, bagaimana kabar langit yang sekarang. Tapi katanya, langit bersedih melihat bumi. Karena penghuninya sudah tidak bersahabat lagi. Bintang sering tertawa ketika bagaimana manusia mengucapkan harap saat ia berjatuhan. Karena katanya, sejatinya ia bukan pengabul harapan. Namun kalau hanya berbicara sebagai teman, ia mampukan. Asalkan

Aku Ingin

Tuan, aku ingin jatuh dalam asmara. Jatuh sejatuh-jatuhnya saat berhiperbola. Layaknya butir hujan saat senja. Menunggu jatuh diujung kelopak seroja. Tuan, aku ingin seseorang pengisi. Seseorang yang kutuliskan berjuta puisi. Wanita yang kupilihkan banyak diksi. Akan kubuat ia seperti Putri. Tuan, aku ingin melagu. Menyenandungkan nada-nada sendu. Kupandang ia disebelahku. Kulantunkan segalanya tanpa ragu. Tuan, aku ingin kekekalan. Bukan jiwa dan raga seorang perempuan. Asalkan cintanya yang tak berzaman. Tak apa waktu tertahan. Tuan, aku ingin menari. Layaknya pangeran dan permaisuri. Sejenak melupakan batas dimensi. Mengkhayalkan rasa abadi. Tetapi Tuan, simpanlah ia dulu. Tunggu sampai hati ini berhenti meragu. Dan kehilangan segala rancu. Baru datangkan ia padaku.

Jangan kamu lagi

Tidak, tidak. Jangan peristiwa itu lagi, hal itu sudah terngiang semenjak beberapa waktu lalu. Terulang-ulang sampai terasa menjemukan. Jangan hal-hal itu lagi. Tidak, aku tidak mau menghiperbolakan segala sesuatu lagi. Aku tidak mau lagi merangkai syair-syair. Aku tidak mau lagi melantunkan lagu-lagu. Aku tidak mau lagi menuliskan berjuta aksara-aksara. Aku tidak mau hal-hal itu terulang dan terulang lagi. Tidak, aku tidak mau merasakan kebohongan itu lagi. Aku tidak mau merasakan siksaan itu lagi. Aku tak mau merasakan rasa itu lagi. Pernyataan itu memuakkan, segala diksi yang dipakai dalam merepresentasikan rasa itu menjijikan. Hanya sekedar untuk mengikat dalam ketidakpastian, hal-hal tak masuk logika dilakukan. Melupakan harga diri demi menghargai diri yang lain. Kata-kata itu penuh pengkhianatan, kerancuan. Mendatangkan penyesalan dan kutukan-kutukan ketika kehilangan ikatan itu. Jadi izinkan aku berhenti, dan jangan ingatkan aku lagi. Pergi, jangan mengulang-ulang kebu

Yang Berhak Dipertuankan

Tuan, untuk inikah Kau ciptakan perbedaan? Manusia-manusia sekarang saling membunuh, Tuan. Mereka membunuh atas namaMu. Yang benar dan yang salah sekarang hanya Kau yang tau. Mereka saling mencaci maki selagi mereka sama-sama menyembahMu. Tuan, HambaMu sekarang tak mau lagi mengenal saudaranya. HambaMu tak mau lagi menghargai pikiran yang Kau ciptakan berbeda-beda itu. Tuan, apakah aku benar-benar bersaksi atas namaMu? Aku tak pernah berjumpa denganMu. Indraku tak pernah sanggup merasakanMu. Tapi Tuan, hati ini memilih yakin kepadaMu. Ataukah hati ini terpaksa begitu? Apakah benar hidup dan matiku hanya untukMu? Lalu kau beri nilai kepadaku, yang masih entah layak atau tidak itu. Apakah aku benar-benar dapat diterima menjadi hambaMu, Tuan? Tuan, apakah usahaku untuk mengesankanMu tak pernah cukup? Kata orang sholatku hanya kelas orang awam, Puasaku hanya menahan lapar dan haus, Sedekahku masih menyayangkan hartaku, Dzikirku masih memiliki keinginan dibaliknya dan Kebaikanku

Tak Berkriteria

Aku telah jauh mengenalmu, mungkin lebih jauh daripada mengenal jati diriku. dan aku sudah terpana dengan apa yang kau pancarkan dari keteduhanmu berbicara padaku. Dan tak perlu muluk-muluk, jangan jadikan dirimu impresif. Cukup dengan senyummu yang biasa. Aku sudah betah memandanginya. Tak perlu kau pergi jauh hanya untuk sekedar membeli tas jinjing mahal itu, meskipun terlihat sedikit lebih modis dari biasanya. Namun kau sudah cukup dengan apa adanya. Juga tak perlu bibirmu bergincu, pemberian Tuhan itu sudah cukup mengkilat saat aku memandanginya. Kau juga tak perlu memakai pakaian yang begitu repot, hanya untuk menunjukkan kemampuanmu dalam berdandan. Memakai sesedikit mungkin asal diperlukan cukup untukku. Dan tentunya aku masih tergila-gila dengan kesederhanaanmu yang begitu manis dimataku. Kau tahu, mahkotamu bagiku hanya senyummu. Itu hal yang memperindah setiap sudut wajahmu, itu yang menunjukkan warna-warnamu, itu yang menunjukkan pesonamu. Dan gaunmu bagiku ha

Ruang Imajinasi

Anggap saja aku bumi, sedang berotasi mengitarimu. Beberapa Millenium telah kuyakinkan bumi, bahwa kau yang kujadikan matahari. Percaya saja, aku akan aman bila berotasi di orbitmu. Beberapa lama ini aku nyaman denganmu, berdansa dalam orbit yang padu. Namun, semakin kesini. Kau semakin terasa sangat panas, membakarku. Semakin aku menggapaimu, semakin terbakar aku. Lalu kuputuskan untuk keluar dari orbitmu, dan mencari matahari baru. Lagi-lagi tak semudah itu, pergi dari pusat gravitasi berarti menghancurkanku. Dan bagaimanapun aku harus keluar dari situ, walaupun harus membentuk diriku yang baru. Akhirnya ada yang kudapat mengapa kau memanas begitu, rupanya kau sudah dapat bumi yang baru. Yang lebih kau pancarkan hangat, dan yakin terasa beda dengan hangat yang kau dulu beri padaku. Ini seperti waktu itu, waktu awal-awal terbentuknya waktu. Waktu dimana kita tempati seluruh ruang semesta, seakan semuanya milik kita. Rupanya imajinasi dalam imajinasiku berkata, tidak ada

Harap

Tulisan-tulisanku dan aksara-aksara yang kau baca mungkin terasa lucu di waktu yang akan datang. Tentang celotehan-ku atas tak adilnya penciptaan ruang dan waktu. Tentang mengapa terjadi perpisahan dan jarak yang tak tentu. Dan tentang mengapa Tuhan menciptakan rindu? Oh mungkin supaya aku menghargai hadirmu, pantas mencarimu dan suatu saat menyesali kehilanganmu. Lucunya aku merindu kepada seorang perempuan yang entah siapa namanya, entah dimana keberadaannya. Perasaanku terus mencaci-maki kekosongan dan menuntut segera direalisasikan untuk bertemu. Namun, akalku kehabisan akalnya. Kemana harus mencari dan siapa harus ditanya. Sekarang hanya imajiku yang bisa bermain liar, membayangkan suatu saat diriku yang antah berantah tak terurus. Akan menjalin sebuah komitmen seumur hidup dan membagi ke-egois-an-ku pada seorang wanita yang tak sekalipun pernah bertamu. Lalu kau akan mengurusku dan mengajariku kearifan-kearifan dunia yang kau tau. Awalnya kita akan jauh saling mengerti,

Menyelamatkan Moral

20/04/2017. Seorang ibu berkeringat darah dengan kaki penuh bekas padatan semen berpulang kepelukan Tuhan. Rupanya beliau hidup dibawah tirani, dibawah kepenguasaan zalim suatu penguasa. R.A. Kartini masa kini. Beliau memperjuangkan kampung halamannya yang dijajah oleh penguasa, yang dahulu waktu pilkada Ia pilih si penguasa itu di TPS dekat rumahnya. Namun apa daya, karena ketamakan sang pemilik perusahaan semen yang gemuk itu. Budaya dan kearifan lokalnya akan digaruk bersama bukit-bukit karst yang akan digunakan sebagai bahan baku semen itu. Sebelum aksi beliau sempat protes, ke pemerintah pusat, namun dilempar sana-sini. Muncullah seberkas cahaya harapan ketika tuntutan mereka diterima MK beberapa waktu setelahnya, namun belakangan, tuntutan itu dicabut kembali. Dan gubernur jawa tengah itu masih saja ingin melanjutkan penggarukan karst di wilayah Rembang. Dengan dalih dapat menjadi potensi pemasok semen terbesar di Indonesia. Masyarakat itu tak pernah disosialisasikan baga

Kagum

Suatu malam aku melihatmu, dengan senyum yang biasa. Kau menatap kearah Bulan, kudengarkan kamu berbincang-bincang dengannya dan juga sesekali bercanda dengan bintang-bintang. Dengan tatapan teduh, yang kemarin-kemarin sangat kuinginkan tatapan itu. Tak terasa aku tersenyum dengan sendirinya, tertawa kecil. Heran, sesering itu aku melihat lekuk senyummu, tetap saja tak pernah jemu aku melihatnya. Entah mengapa kesederhanaanmu itu terlihat mewah dimataku, begitu mempesona. Namun, tetap. Sayangnya tertawa kecil tadi seakan menertawakan diriku sendiri, dan muncul sugesti 'Masa iya? Aku? Dengannya?" lalu tertawa lagi, kini dengan nada yang lebih tinggi, sampai memekik. Tuan Putri tak pantas untuk kuli bangunan. Kalaupun iya, hanya karangan sutradara rendahan saja adanya. Dihari yang lain aku melihatmu lagi, ditepi pantai menatap senja. Pada saat merah-merahnya, sampai senja memantulkan warnanya disudut-sudut pipimu. Bersahaja, penuh keindahan yang tak bisa kuilustrasikan

Positifkan Diri

Aku tahu , kawan. Hari-harimu sulit untuk dilalui. Begitu banyak rintangan, permasalahan, urusan dan berbagai hal yang jadi bahan pikiran. Aku paling mengerti dirimu, teman. Berbagai kritik yang panas dan terdengar begitu pedas, jangan biarkan dirimu terbatas. Tetap jadi individu yang kapanpun waktunya siap terbang bebas. Jangan kau sesali apa yang kau lakukan, walaupun sudah mati-matian kau perjuangkan. Jangan sampai patah semangat di tengah jalan. Walau ku tahu kau jatuh berkali-kali, diremehkan berkali-kali, dihina berkali-kali. Ku yakin kakimu lebih sanggup berdiri dari pada yang lain, dan hatimu lebih tangguh dari pada yang lain. Kawan, kau sudah dipukuli oleh berbagai macam permasalahan. Dan kini kau sedang berjalan menuju pesimpangan , nanti kau harus pilih sendiri jalan mana yang kau jadikan tujuan. Jangan pernah kembali, dari apa yang sudah kau jalani. Berhenti sejenak tak apa! Istirahatlah, cari kejernihan dan kesejukkan. Lalu lanjutkan. Buatlah bagi dirimu, kaul

Intonasi Motivasi

2017, dan kau. Hei anak Adam, sudah bisa apa? Sudah punya apa? Kau terlalu sibuk dengan drama, dengan sandiwara-sandiwara di layar kaca. Saat jemarimu seharusnya menuliskan proposal untuk masa depan yang jelas-jelas lebih nyata. Malah kau sibukkan dengan meliuk-liukkannya di atas keypad ponsel pintar yang membodohi dan membuat buta dengan realita. Dengan mudahnya kau terbawa arus zaman, tersasar di tengah lautan ketidakpastian karena tidak punya pendirian. Kau laki-laki bukan? Siapa yang mau dipimpin oleh binatang yang tak punya arah gerak yang mapan? Berhenti menjadi bajingan. Teguhkan, cari jati dirimu yang berapa lama ini sudah kau abaikan. Berhenti cari kemudahan, dunia terlalu sulit untuk para pembenci tantangan. Dan yang harus kau tau omongan buruk orang-orang tentangmu dan lingkunganmu, semua hanya pembodohan. Berhenti memikirkan hal-hal yang tak perlu dan tak seharusnya kau pikirkan. Keluar dari zona nyamanmu, sampah sepertimu harus dibentak dan diinjak-injak a

Aku pernah

Kamu tahu, kalo boleh bercerita sedikit. Terkadang logika ini selalu tak sependapat dengan keseharian. Tentang bagaimana sesuatu menjadi kebiasaan. Orang-orang arif sering mencari kesendirian dengan ritual-ritual penyejuk pikiran. Mungkin itu salah satu fasilitas, mengenal diri untuk tau sampai mana diri ini terbatas. Aku pernah melangkah tanpa alas kaki, di atas batu kerikil yang sedikit menusuk kaki. Sedikit nyeri terasa. Lalu kupijak rumput yang basah setelah terkena hujan, lembut ternyata. Melangkah aku dari pasir sampai tanah merah. Oh, ini rasanya bumi, sungguh mengena, pengharmoni suasana. Aku pernah merasakan deru ombak, walau setidaknya hanya batas lutut. Menderu-deru, semu dan sendu. Lalu kurebahkan punggung ini dibibir pantai serentak ketika ombak mengecup. Oh, ini rasanya lautan, ringan, ramah. Aku pernah berjalan ke hutan-hutan, saat ujung-ujung daun menyentuh pipiku. Lalu dalam kelembaban belantara itu, kuteriakkan teriak sekencangnya. Oh, ini rasanya hutan, lembut

Bicara Kekinian

Zaman semakin kesini semakin banyak pembaharuan, banyak pemelintiran dan pembiasan. Istilah baru yang terkini, sekarang disebut kekinian. Orang-orang sudah jadi intelektualis apatis, dengan ruang gerak 10cm dari sudut-sudut tubuh tipis dan banyak mata yang sudah berubah sinis. Mungkin karena sedari masih kecil, sudah dikotak-kotakkan dengan doktrin penyeragaman. Pikiran jadi mungil, terhipnotis dengan pencapaian dan angan yang selalu disemogakan. Potensi terpenjara, dibatasi oleh kejamnya sandiwara. Atau mungkin arahan dari yang tua, tentang hidup kedepan harus bermartabat, kaya sembari jumawa. Harga diri jatuh, sementara harga pakaian minim semakin tinggi. Yang mahal pakaiannya, bukan harga dirinya yang semakin murah. Kemudian aturan menutup aurat harus disiasati agar memenuhi standar fashion, bukan standar syariat, supaya laris dipasaran. Apa-apa harus kebarat-baratan. Dan semakin tak masuk logika, barang-barang dijual bukan berdasarkan fungsinya, tapi mereknya. Tinggal pemikir

Pelataran, Kopi & Ayah

Gambar
Kali ini malam, setelah terdengar kumandang adzan Isya', yang tua dan yang muda berangkat ke masjid dengan segera. Aku dan Ayah melewati pinggiran sawah dan ladang tetangga, karna yang kuketahui di kampung yang berisi puluhan kepala keluarga itu hanya ada satu masjid, pun persebaran rumah di kampung itu terpisah-pisah penataannya. Mau tidak mau, ya lewat sawah orang. Dan mungkin sudah berpuluh-puluh tahun begitu. Berbalut baju batik dan sarung tenun, sebagai jama'ah sholat isya' , kami mulai merapatkan shaf. Tak lupa Imam menjalankan kewajibannya, untuk mengecek seberapa lurus dan rapat shaf jama'ahnya. Setelah selesai, di pandu Imam, Jama'ah menengadahkan harapannya. Kepada Sang Gusti. Ibadah wajib yang terakhir hari ini sudah selesai kami tunaikan, sampai selesai dan lalu pulang. Duduknya aku dipelataran rumah khas adat jawa yang kami tinggali selama beberapa waktu disana. Tiba-tiba seseorang yang sudah masuk rumah tadi, keluar lagi. Ternyata itu Ayah,

Senja di tepi Dermaga

Gambar
Sore itu, setelah seharian penuh aku berkeliling di utara teluk Jakarta. Tepatnya di Pulau eksotis yang sekarang sudah terjamah seluruh bagian tubuhnya, tempat pelampiasan manusia yang bosan dengan hiruk-pikuknya Metropolitan. Namun, kalau hanya untuk sekedar liburan akhir pekan. Tak apa, asalkan keluar rumah, dan pura-pura lupa dengan kerjaan, bagi segenap kawula, lebih baik daripada diam saja. Sambil mengangkut alat-alat yang kupakai sore tadi, kapal penjemput datang menawarkan tumpangan, bagusnya, kegiatan hari ini berakhir dengan senyuman, dan tak ada kejadian. Sesampainya ditengah laut, terlihat lumba-lumba sedang bersenda gurau, melompat-lompat di permukaan air. Tak kusangka, ternyata masih ada saja lumba-lumba yang mau berkunjung di tempat yang dijarah manusia ini. Dalam hati aku meminta maaf, jenisku telah merusak rumah kalian. Ditepikannya kapal itu kemudian, keluarlah aku lewat pintu sempit sebelah kiri, sambil kubakar sebatang tembakau berbalut kertas hitam favo

Sebelum ku ikrarkan kamu

Gambar
Sudah tak terhitung berapa hari, tak terasa berapa lama juga kamu menemani. Ternyata dalam ruang dan waktu yang kujalani, aku hanya di cap pengecut oleh sebagian orang masa kini. Hanya saja mereka yang tak mengerti, bukan seperti mereka yang katanya aku suka memberikan harapan yang basi, hanya saja, aku belum berani, menjalin komitmen dalam sebuah istilah yang tak pasti. Bagiku kamu terlalu indah untuk diikat dalam ketidakpastian, kamu terlalu berharga untuk digandeng tanpa sebuah jaminan. Aku memastikan bahwa tak bohong ini perasaan, aku mengatakan bahwa benar ini logika pemikiran. Yang pada akhirnya, yang muncul hanya sebuah bias yang berkelanjutan. Ya, bisa saja kau kuberikan perhatian, bisa saja kau kuberikan kenyamanan, bisa saja kuberikan kau rasa sayang dan waktu luang. Hanya saja aku kembali bertanya pada diriku sendiri, pantaskah seseorang seindah kamu kuikat dalam tidak pastian? sementara apalah daya aku ini, tak bermodal, tak bermotivasi, tak bertanggung jawab, egois,

Tentang Menulis

Gambar
Bagiku menulis itu berbentuk pelarian dan kebebasan. Sejenak melupakan masalah harian dan lepas singkat dari segala tanggungan. Bukan untuk membuat orang yang membaca terkesan, hanya saja banyak sekali kata-kata dikepala yang harus ku kemukakan. Makanya dari yang kebanyakan, aku hanya berusaha menyampaikan gagasan-gagasan mengenai apa yang terlintas dipikiran. Fungsinya hampir sama dengan jembatan, agar ide-ideku yang sekiranya relevan dapat tersalurkan. Tentunya dengan sedikit retorika manis agar ringan dan sedikit memberi kesan. Bagiku menulis itu interpretasi intelektual, tentang bagaimana baik secara kualitatif maupun kuantitatif seorang penulis menuangkan sesuatu yang memorial, bukan untuk menyombongkan tapi setidaknya menunjukkan bahwa sang penulis punya sesuatu yang membuat dirinya berbeda dengan kebanyakan orang. Karena kita tau bersama bahwa pikiran manusia itu liar. Dan setiap penulis itu spesial, baik dari cara pandangnya akan sesuatu atau lain hal. Bagiku men

Di Ujung Galaksi

Gambar
Kau tau kan galaksi itu, tempat bertemunya semesta-semesta, yang mungkin, semestaku dan semestamu berbeda, ketika kau melihat daratan lautan serta langit sebagai atap, yang kulihat hanyalah sebuah gradasi, sebuah gabungan dari berjuta substansi dalam keindahan yang terintegrasi, mudah saja jika kuberi analogi, anggap saja aku sendok dan kau cangkir, dua substansi yang saling mengaduk menjadi satu dan jadilah keindahan bernama kopi. Itulah semestaku. Samudraku dengan samudramu mungkin berbeda, ketika yang kaulihat hanya air semata, yang kulihat bintang-bintang dengan variasi warna, dan diantara bintang yang berjuta-juta, yang paling kusuka hanya satu warna, itu disana, yang merah merona, tak apa kan bila kunamakan samudraku samudra bintang, dan yang harus kau tau, aku juga biasa mengarunginya saat ragu, mencari secercah ide-ide baru, juga ketika sedang ada rindu, tentang momen di hari yang lalu . Hujanku dan hujanmu juga mungkin berbeda, ketika yang kaulihat ribuan partikel

Tidak Hanya Sekedar Berceloteh

Gambar
Lama sudah aku memupuk asa, ini-itu kurencanakan sejak muda, berjalan tegap bak paling berkharisma, namun lama kelamaan akhirnya sadar juga, diri ini belum ada apa-apanya. Sekarang orang memandangku agak gila, mempertaruhkan segalanya demi hal yang tak masuk logika, karena  sering lusuh saat dilihat mereka, entah apa yang kukerjakan menurut persepsinya, apa memang mereka tau semua, justifikasi liar walaupun hanya prasangka. Mulailah kudengar kalimat-kalimat palsu, penuh jilatan ketika ada perlu, namun menghina dari sudut yang tak ku tau. Mengeluh ini itu kepadaku, yang semunafiknya harus kudengarkan sampai selesai keluhan itu, walau akhirnya setelah kuperjuangkan aku tau, semuanya palsu. Semoga orang-orang yang begitu, cepat diberikan bisu. Mereka tak mungkin tau, saat semua orang hanya berdiam diri di situ, dengan bertolak-pinggang berkomentar bak paling tau, sementara aku di sini selalu berusaha maju, demi segalanya yang dibilang orang tadi tak masuk logika itu. Apa merek

Pecandu Sunyi

Gambar
Kali ini malam hari, berjalanku jauh ke Utara mulai siang tadi. Sejenak ingin lupa diri, karena seharian ini sudah banyak kulewat tragedi, yang untungnya bukan kepadaku terjadi. Apakah manusia memang begitu? penuh spekulasi ketika dihadapkan dengan ragu, tak kuasa berdiri dengan ide yang  keliru, yang kemudian berbangga diri jika memang jitu, namun jika keliru berlarinya ia buru-buru, menuju ketiak sang ibu. Aku muak, terasa dada ini begitu sesak, mungkin sudah seharian ini aku terisak, karena moral dan nilai yang kupercaya telah dirusak, yang dulunya rapi terstruktur kini menjadi abstrak. Bingung juga aku dibuatnya, tentang banyak keanehan yang kini sudah biasa, hingga maksud baik kehilangan makna, apalagi asa. Apakah manusia selalu riuh, siang-malam berpesta gaduh, tiba berhadapan dengan realita dia mengeluh. Apakah yang terlontar selalu caci dan makian, tentang katanya Tuhan tak berkeadilan, giliran dilanda susah tak dipedulikan, padahal kewajiban terlaksanakan, tapi ke